About Me

My photo
have facebook , have twitter

Thursday, October 10, 2013

[Daily News 09/10/13] Tidak Boleh Rasisme, Diskriminasi Teritori pun Jadi?

You Are Here: Home » - Daily News -, All Articles » [Daily News 09/10/13] Tidak Boleh Rasisme, Diskriminasi Teritori pun Jadi?

milan-napoli-cori-razzisti_01_941-705_resizeSignora1897 ers, di Daily News ini penulis akan fokus dengan masalah rasisme di Liga Italia yang menghangat pekan ini. Hal ini terjadi karena dihukumnya AC Milan dengan bermain di stadion tertutup (tanpa penonton) karena ultrasnya menyanyikan yel-yel yang mendiskriminasikan orang-orang Napoli di partai Juve-Milan pekan lalu.

Diskriminasi atas orang-orang yang datang dari daerah tertentu disebut, setidaknya oleh Lega, territorial discrimination/diskriminasi teritori.

Sedikit mengenai Italia. Bisa dibilang, secara umum Italia bisa dibagi menjadi dua kelompok besar: Northern Italy dan Southern Italy. Utara, yang dekat dengan Jerman, bersifat industrialis dan jauh lebih kaya dari Selatan, yang dekat dengan Yunani dan Afrika Utara, yang bersifat lebih kekeluargaan. Perbedaan kaya-miskin, ras, industrialis-kekeluargaan inilah yang menjadi sumber perbedaan selama ratusan tahun dan Milan adalah Utara dan Napoli adalah Selatan.

Sebelum ini, para ultras Milan telah melakukan hal yang sama di giornata keempat saat Milan ditekuk 1-2 oleh Napoli di San Siro dan telah dihukum dengan penutupan curva. Sayang, mereka kembali melakukan hal ini di giornata ketujuh sehingga Lega mau tidak mau mengikuti peraturan yang ada dan memberikan hukuman yang lebih berat karena ini adalah pelanggaran yang berulang.

Nah, aturan ini-lah yang ditentang oleh ultras Milan sehingga mereka akan melakukan unjuk rasa dengan cara justru melakukan pelanggaran tersebut kembali dengan tujuan supaya stadion ditutup dan sayangnya, salah satu ultras Juve akan ikut mendukung aksi ini.

Tjuan dari ultras jelas: Mereka ingin “menyakiti” klub supaya keinginan mereka dituruti. Dilain pihak, tujuan dari lega dengan hukuman ini juga jelas: Mereka menginginkan para klub aktif menertibkan fans mereka, yang sejauh ini memang belum-lah seketat yang dilakukan klub-klub Inggris.

Heysel01Kalau Signora1897 ers masih ingat, dahulu hooligan Inggris adalah salah satu ultras yang paling brutal di Eropa, kalau bukan yang paling brutal. Aksi kekerasan ini berpuncak pada final Champions Cup 1985 antara Juventus dan Liverpool, dimana hooligan Liverpool menyerang tifosi Juve sehingga pagar/tembok pembatas roboh dan yang mengakibatkan 39 orang tewas dan sekitar 600an luka-luka. UEFA pun memberikan larangan bermain bagi semua tim Inggris di kompetisi Eropa selama lima tahun.

Namun demikian, tidak serta merta aksi hooligan menghilang. Di tahun 1989, saat pertandingan semifinal FA Cup antara Liverpool dan Nottingham Forest sedang berlangsung di Stadion Hillsborough, bentrokan antar fans terjadi dan kembali, pembatas ambruk dan menewaskan 96 orang dan sekitar 700-800 lainnya luka-luka.

Sejak saat itu, aturan-aturan stadion di Inggris diperketat dan sekarang, Inggris telah menjadi Liga terkaya di Eropa dan salah satunya adalah berkat aturan-aturan yang ada yang mendatangkan rasa aman dan kekeluargaan di dalam stadion. Segala bentuk kekerasan berhasil diminimalkan. Rasa aman dan kekeluargaan inilah yang mengundang para fans untuk datang ke stadion dan tidak jarang bersama dengan keluarga.

Nah, apa hubungannya dengan rasisme di Italia? Sudah menjadi hal umum bahwa kekerasan berawal dari adu mulut dan dalam adu mulut, salah satu issue yang paling sering dipakai adalah ras. Seperti yang Paul Pogba katakan dalam wawancaranya, rasisme ada dimana-mana dan menurut penulis, masalah ras adalah masalah sosial yang tidak dapat dengan mudah diatasi. Inggris-pun baru bisa mengatasi/meminimalisasi masalah ini (kekerasan, rasisme, dan lain-lain) setelah jatuh korban yang tidak sedikit.

Di lain pihak, aturan penutupan stadion sepertinya juga bukan solusi yang baik dan ini bisa kita lihat dari rencana aksi para ultras yang justru akan dengan sengaja “memaksa” stadion ditutup dan yang akan berimbas kepada pemasukan klub. Ultras, dengan terpaksa, sepertinya telah bisa menerima kalau yel-yel rasis akan berakibat buruk terhadap mereka tetapi mereka tidak mau kehilangan “senjata” mereka untuk mengecilkan rival mereka begitu saja. Yel-yel diskriminasi teritori-lah yang kemudian dipakai untuk mengakali dilarangnya rasisme.

Tidak boleh rasisme, diskriminasi teritori pun jadi?

Nah, apakah Lega harus mengalah dan memperbolehkan diskriminasi teritori? Menurut penulis, diskriminasi teritori adalah bentuk lain dari rasisme yang berpotensi menjadi kekerasan dan Lega tidak boleh mengalah. Akan tetapi, bagaimanakah caranya supaya fans lain tidak dirugikan dan masih dapat datang ke stadion?

Menurut penulis, penutupan curva sudah tepat dan tidak perlu berlanjut hingga ke penutupan stadion. Klub juga dapat berinvestasi lebih di teknologi untuk dapat memantau para penonton. Para pelanggar juga harus diberikan hukuman yang berat seperti dilarang masuk stadion dalam waktu yang lama, hukum pidana, dan lain-lain. Tidak murah memang, tetapi perlu supaya suasana stadion lebih aman dan bersifat kekeluargaan.

Yang pasti, semua belah pihak, baik dari pemerintah setempat, klub dan para fans yang lebih bijak harus dapat bekerjasama dalam masalah ini. Tidak ada solusi yang mudah dan semuanya memerlukan waktu.

Mudah-mudahan, Italia tidak perlu mengikuti Inggris, dimana banyak korban jiwa telah jatuh dulu barulah kemudian dilakukan perubahan. Semoga.

______________________________________________________________________________________

“I didn’t choose Juve. Juve chose me.” @dwicarta is just an ordinary guy who happens to bleed black-and-white since Roby Baggio wreaked havoc in 1990 World Cup in Italy. When time permits, he’d like to spend it on hoops and one of his passions: writing. One day he stumbled into juventus.theoffside.com and now here he is: doing his passion on his passion.


View the original article here

No comments:

Post a Comment